Selasa, 08 November 2011

Antara Mark Up dan Ketiadaan

Sebuah tulisan galau.

Ada kalanya dalam hidup ini, seseorang akan menemukan saat ketika galau menjadi teramat sederhana. Misalnya hanya dengan melihat sendok McD. Dan ketika ”ada” dan “tidak” bukan lagi sekedar kata, tapi makna.

Ceritanya saya sedang mengurus proposal untuk keberangkatan ke suatu even akhir November nanti. Ah, kalau saya ceritakan gamblang, nanti akan terlihat jelas oknumnya. :’D saya terpilih menjadi sekretaris untuk delegasi ini, bukan sesuatu yang membanggakan, hei! Menjadi sekretaris adalah ketika semua yang ruwet masalah birokrasi, perizinan, uang, dan apalah itu, harus kamu urus.
Untuk menentukan budget perjalanan ini, saya tidak bisa menentukan sendiri. Transportasi, akomodasi, konsumsi, persiapan, dan lain-lain. Lalu saya menemui dosen pembimbing, memohon pencerahan.

*sebuah percakapan di ruang dosen*
Saya: Dok, saya butuh angka rencana untuk transport, konsumsi, akomodasi, dan persiapan alat..
Dosen: Ya tulis aja, tiap orang untuk transport sekian, akomodasi sama konsumsi sekalian sekian, apalagi?
Saya: Errr, itu untuk 4 orang dok? Yang dua sudah ditanggung pihak sana kan ya? Lalu untuk perbaikan alat dok...
Dosen: Tulis aja 6 orang, lalu buat alat tulis saja sekian.
Saya: Untuk alat mbak Anu cuma minta sekian, Dok..
Dosen: Lho nggak papa, nanti kalau sisa kan bisa buat kalian...
*end of conversation*

Apakah ini yang disebut mark up? Apakah saat ini saya suda dekat sekali dengan hal ini?
Dulu saya berpikir mark up hanya kerjaan orang-orang di televisi sana. Entah yang sudah diusut KPK atau yang masih beruntung, belum ketahuan. Mark up selalu dilakukan pada hal yang besar, bisa begitu mudah dihindari, asal laopran sesuai kenyataan. Voila!

Begitu lama saya memejamkan mata sampai-sampai saya tidak tahu bahwa kehidupan semakin keras. Bahwa mark up bisa dimulai dari mahasiswa. Kaum paling idealis di jagad raya. Dari hal kecil, dinikmati, dan menjadi kebiasaan.
Jujur ya, saya adalah manusia biasa. Ketika, mungkin, mark up ini benar-benar terjadi dan ada uang sisa nantinya. Saya pasti akan bingung menggunakannya. Di satu sisi uang itu belum jelas haram-halalnya, di sisi lain saya sebagai mahasiswa yang butuh uang. Uang itu suatu yang menyenangkan kawan, banyak orang yang bisa dibutakannya.

Semakin saya membenarkan penggalan tulisan buku pengantar ilmu politik tulisan Miriam Budiardjo bahwa ketika seseorang diserahi kekuasaan, dia akan cenderung menyelewengkannya. Sebuah kalimat yang mebuat saya semakin skeptis. Bahkan kepada mahasiswa pergerakan di masa ini. Karena penguasa masa ini adalah kaum pergerakan di masa lalu, dan lihatlah seperti apa mereka sekarang. Sebuah kalimat yang membuat saya ingin hidup lama, membuktikan teriakan kaum idealis masa ini. Akankah tetap menggema di masa depan? :)

Lalu apa hubungan antara mark up dan ketiadaan?
Di tengah pergulatan batin ini, saya hanya bisa berguling di kasur mini kamar kos saya. Ditemani derai hujan, proposal yang belum saya kerjakan, dan sms-sms deadline. Saya butuh teman bicara!
Ada beberapa hal yang membuat saya enggan bercerita dengan teman kos. Apalagi dalam kasus-mendekati-mark-up ini, saya pikir mereka bukan teman bicara yang oke. Terlalu dini untuk men-judge. Tapi saya memang bukan tipe orang yang bisa bercerita pada siapa saja dan kapan saja.
Entah karena saya yang terlalu tertutup atau meragukan kemampuan mereka dalam mendengar cerita. Sampai-sampai beberapa hari ini, ketika bertemu saya, salah satu teman kos saya selalu bilang, “ayo May cerita, kamu nggak pernah cerita sendiri lho...”

Ingatan saya terbang pada seorang teman -jika kami memang teman, dan masih berteman- yang pernah menjadi teman bicara saya beberapa waktu lalu. Sebuah periode panjang tanpa cela. Seorang teman yang bisa saya ajak bicara masalah kuliah, keluarga, organisasi, politik, bahkan masa depan.
Ada kalanya dalam hidup ini, ada dan tidak bukan lagi sekedar kata.
Perlu pembiasaan yang sangat luar biasa antara “ada” menjadi “tidak”. Ketika waktu lebih memilih agar saya lebih banyak bermonolog. Well, ini tidak mudah. Saat-saat ketika seorang manusia tidak bisa terlalu bergantung pada manusia lain.

Dan akhirnya, hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap...

Laa tahzan, innallaha ma’anaa :)

Tidak ada komentar: