Minggu, 20 November 2011

Selamat ulang tahun! :)

Tua itu pasti dan dewasa itu pilihan.

Setelah memilih untuk menjadi veteran fakultas kedokteran, meninggalkan masa lalu di fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, saya sering ngerih-ngerih pengggalih* sendiri. Kadang ada beberapa teman yang bercanda masalah umur. Saya tahu itu tidak serius, but hey! Jangan bicara umur kepada seorang perempuan. Itu sensitif! x)

Saya tidak memungkiri bahwa berjalannya waktu adalah sunnatullah. Waktu yang berjalan membuat kita semakin tua. Saya bertambah tua, begitu pula kamu, begitu pula orang-orang yang mengejek umur saya yang terlampau banyak daripada umur mereka. Umur berbanding lurus dengan rahmat Tuhan, semakin banyak umur, semakin banyak Tuhan memberikan rezekinya. Semakin tua, berarti Tuhan memberikan semakin banyak waktu pada seseorang untuk memberikan manfaat kepada orang lain. Bersyukurlah karena tidak semua orang mendapatkannya. Hingga saya mengeluarkan jurus terjitu jika diejek masalah umur, “hey! Kamu belum tentu bisa setua saya!” :P

Sampai-sampai saya menyesali keingian seorang Gie yang ingin mati muda. Oke itu pilihan, tapi ketika dia bisa berumur lebih panjang, pasti akan lebih banyak kontribusi yang akan dia berikan untuk negeri ini. Tapi kembali lagi, umur adalah rahasia Tuhan. Bersyukurlah yang tua, Tuhan telah memberikan lebih banyak kesempatan. Untuk berkarya, untuk berbahagia, untuk membahagiakan orang lain, untuk bermanfaat bagi manusia disekitarnya, untuk membuat perubahan, untuk mencetak sejarah yang akan diingat bahkan ribuan tahun setelah mati nanti.

Intinya, semua usia tidak boleh saling mengejek. Yang muda tidak boleh mengejek yang lebih tua, mereka belum tentu bisa setua itu. Yang tua tidak boleh mengejek yang muda, karena yang muda bisa menjadi lebih hebat daripada mereka di usia yang sama. Yang muda harus belajar dari yang tua tentang pengalaman hidup. Dan yang tua bisa belajar tentang semangat dari orang yang lebih muda.

Umur bukan hanya masalah hitungan. Tidak masalah berapa lama kita hidup, tapi bagaimana kita hidup.

Hari ini tepat ulang tahun ke-3 gigitaring :3 sederhana saja, berharap blog ini bisa lebih baik. Sebelum meberikan inspirasi pada orang lain, saya lebih berharap untuk sering menulis dan tidak membiarkan blog ini mati dalam kekosongan #tsahhh

“karena karya adalah bukti bahwa kita pernah ada” -anonim-

Selamat ulang tahun! :)

*ngerih-ngerih penggalih: menyabarkan hati

Jumat, 18 November 2011

Helm! Helm me!

Saya bukan seseorang yang peduli dengan helm. Meskipun tahu manfaatnya. Saya bahkan tidak selalu memakai helm dengan mengaitkannyanya sampai “klik”, tapi semua berubah ketika negara api menyerang. Errr, sejak beberapa kejadian entah yang saya alami atau yang saya tahu saja. Kesadaran tentang memakai helm sampai “klik” ini muncul setelah melihat kejadian kecelakaan yang menimpa Marco Simoncelli di MottoGP Sepang, Malaysia, Oktober kemarin.

Helm yang sudah memenuhi standard dan pastinya mahal, juga harusnya sudah “klik”, bisa lepas, dan itu fatal.

Saya dan helm

“May, nggak pakai helm teropong?” begitulah pertanyaan teman saya sebelum saya main dengan beberapa teman ke Kelud awal Januari 2010 lalu. Waktu itu, saya menganggap itu tidak penting. Saat pulang dari Kelud itu, saya dan teman saya jatuh dari motor. Kecelakaan tunggal yang terjadi karena teman saya yang membonceng tidak melihat lubang di jalan. Kecelakaan yang menyebabkan jaringan parut yang membekas di hidung saya. #curcol

Begitu tidak pedulinya saya dengan helm sampai-sampai saya bertahan dengan helm-arsitek-warna-warni-dengan-stiker-IPB warisan kakak saya yang tidak melindungi wajah saya saat kecelakaan itu. Sejak kecelakaan itu, saya mulai peduli dan merasa penting untuk menggunakan helm yang sesuai standard keamanan. Helm adalah pelindung kepala, kepala adalah aset, tidak bisa ditawar. Ini adalah kesadaran tahap I.

Saya juga gaptek dengan jenis kuncian helm sampai-sampai, ketika main dengan teman, kadang saya harus minta tolong untuk membukakan kait helm saya! :D

Saya sendiri belum punya helm. Kadang saya berpikir kebelumpunyaan helm saya ini membuat saya single sampai sekarang. Secara tidak langsung saya belum mengondisikan untuk punya pacar: belum ada helm jika sewaktu-waktu diajak ngedate! #teorisukasuka
xD

Selama ini saya bertahan dengan meminjam helm teman kos. Helm hitam Tyas atau Anggra, helm putih Nasa, helm ungu Mbak Nilla, helm biru bunga-bunga milik Desi, atau kalau terpaksa, saya minta teman saya membawakan helm.

Suatu hari di Stasiun

Sore itu saya pulang bareng teman kos saya. Saya duduk-duduk di teras Stasiun Gubeng untuk menunggu teman kos saya yang lain. Bersama adik kos, seorang anak PKL dari Wlingi yang bersekolah di Kediri yang sangat remaja-zaman-sekarang-sekali. Errr, maksud saya, tampilannya sangat anak muda zaman sekarang. Rambut rebonding poni lempar, celana skinny jins, kaos mini plus cardigan. Lalu kita terlibat obrolan tentang helm.

“Mbak, helm yang dipegang anak itu jenis *%&^Q*&%@^ sebenarnya udah nggak boleh dipakai lho di Kediri,” dia memulai obrolan sambil mengamati seorang remaja-zaman-sekarang yang menenteng helm. Saking tidak tahunya jenis helm yang dia sebut, saya tidak ingat apa itu *%&^Q*&%@^.
Emang kenapa helmnya?” saya menjawab seolah tahu maksud adik kos itu.
“Ya nggak boleh aja mbak *%&^Q*&%@^ katanya cuma buat gaya-gayaan, nggak sesuai standard..”
Lalu dia melanjutkan membahas jenis-jenis helm yang saya sama sekali nggak paham! -____-“
“Harga helm berapa aja sih?” saya sekaligus survei helm, saya pikir lumayan mendapat informasi harga helm dari anak ini. Siapa tahu ketika suatu hari saya berniat membeli helm, saya tidak perlu bertanya banyak pada penjualnya.
Adik kos: “Helm jenis *** ada yang baru mbak, 275rb-an, yang lama sih 200an...”
Saya: “wih, mahal ya! Kalau yang jenis ***?”
Adik kos: “kalau yang itu 80rb udah dapet mbak”
Saya: “kalau dipakai enakan yang mana?”
Adik kos: “sama aja sih mbak, tapi yang jenis *** bentuknya lebih bagus...”

-----------------------------------------------------

Mengingat pentingnya helm, saya mulai berkesadaran untuk selalu menggunakan helm standard, dengan kaca menutup wajah. Mengaitkan sampai “klik”, walaupun mungkin harus minta bantuan untuk melepas kaitnya. Dan satu hal yang tak kalah penting, saya mulai berniat membeli helm sendiri. Hahaha.

Selasa, 08 November 2011

Antara Mark Up dan Ketiadaan

Sebuah tulisan galau.

Ada kalanya dalam hidup ini, seseorang akan menemukan saat ketika galau menjadi teramat sederhana. Misalnya hanya dengan melihat sendok McD. Dan ketika ”ada” dan “tidak” bukan lagi sekedar kata, tapi makna.

Ceritanya saya sedang mengurus proposal untuk keberangkatan ke suatu even akhir November nanti. Ah, kalau saya ceritakan gamblang, nanti akan terlihat jelas oknumnya. :’D saya terpilih menjadi sekretaris untuk delegasi ini, bukan sesuatu yang membanggakan, hei! Menjadi sekretaris adalah ketika semua yang ruwet masalah birokrasi, perizinan, uang, dan apalah itu, harus kamu urus.
Untuk menentukan budget perjalanan ini, saya tidak bisa menentukan sendiri. Transportasi, akomodasi, konsumsi, persiapan, dan lain-lain. Lalu saya menemui dosen pembimbing, memohon pencerahan.

*sebuah percakapan di ruang dosen*
Saya: Dok, saya butuh angka rencana untuk transport, konsumsi, akomodasi, dan persiapan alat..
Dosen: Ya tulis aja, tiap orang untuk transport sekian, akomodasi sama konsumsi sekalian sekian, apalagi?
Saya: Errr, itu untuk 4 orang dok? Yang dua sudah ditanggung pihak sana kan ya? Lalu untuk perbaikan alat dok...
Dosen: Tulis aja 6 orang, lalu buat alat tulis saja sekian.
Saya: Untuk alat mbak Anu cuma minta sekian, Dok..
Dosen: Lho nggak papa, nanti kalau sisa kan bisa buat kalian...
*end of conversation*

Apakah ini yang disebut mark up? Apakah saat ini saya suda dekat sekali dengan hal ini?
Dulu saya berpikir mark up hanya kerjaan orang-orang di televisi sana. Entah yang sudah diusut KPK atau yang masih beruntung, belum ketahuan. Mark up selalu dilakukan pada hal yang besar, bisa begitu mudah dihindari, asal laopran sesuai kenyataan. Voila!

Begitu lama saya memejamkan mata sampai-sampai saya tidak tahu bahwa kehidupan semakin keras. Bahwa mark up bisa dimulai dari mahasiswa. Kaum paling idealis di jagad raya. Dari hal kecil, dinikmati, dan menjadi kebiasaan.
Jujur ya, saya adalah manusia biasa. Ketika, mungkin, mark up ini benar-benar terjadi dan ada uang sisa nantinya. Saya pasti akan bingung menggunakannya. Di satu sisi uang itu belum jelas haram-halalnya, di sisi lain saya sebagai mahasiswa yang butuh uang. Uang itu suatu yang menyenangkan kawan, banyak orang yang bisa dibutakannya.

Semakin saya membenarkan penggalan tulisan buku pengantar ilmu politik tulisan Miriam Budiardjo bahwa ketika seseorang diserahi kekuasaan, dia akan cenderung menyelewengkannya. Sebuah kalimat yang mebuat saya semakin skeptis. Bahkan kepada mahasiswa pergerakan di masa ini. Karena penguasa masa ini adalah kaum pergerakan di masa lalu, dan lihatlah seperti apa mereka sekarang. Sebuah kalimat yang membuat saya ingin hidup lama, membuktikan teriakan kaum idealis masa ini. Akankah tetap menggema di masa depan? :)

Lalu apa hubungan antara mark up dan ketiadaan?
Di tengah pergulatan batin ini, saya hanya bisa berguling di kasur mini kamar kos saya. Ditemani derai hujan, proposal yang belum saya kerjakan, dan sms-sms deadline. Saya butuh teman bicara!
Ada beberapa hal yang membuat saya enggan bercerita dengan teman kos. Apalagi dalam kasus-mendekati-mark-up ini, saya pikir mereka bukan teman bicara yang oke. Terlalu dini untuk men-judge. Tapi saya memang bukan tipe orang yang bisa bercerita pada siapa saja dan kapan saja.
Entah karena saya yang terlalu tertutup atau meragukan kemampuan mereka dalam mendengar cerita. Sampai-sampai beberapa hari ini, ketika bertemu saya, salah satu teman kos saya selalu bilang, “ayo May cerita, kamu nggak pernah cerita sendiri lho...”

Ingatan saya terbang pada seorang teman -jika kami memang teman, dan masih berteman- yang pernah menjadi teman bicara saya beberapa waktu lalu. Sebuah periode panjang tanpa cela. Seorang teman yang bisa saya ajak bicara masalah kuliah, keluarga, organisasi, politik, bahkan masa depan.
Ada kalanya dalam hidup ini, ada dan tidak bukan lagi sekedar kata.
Perlu pembiasaan yang sangat luar biasa antara “ada” menjadi “tidak”. Ketika waktu lebih memilih agar saya lebih banyak bermonolog. Well, ini tidak mudah. Saat-saat ketika seorang manusia tidak bisa terlalu bergantung pada manusia lain.

Dan akhirnya, hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap...

Laa tahzan, innallaha ma’anaa :)