Jumat, 18 November 2011

Helm! Helm me!

Saya bukan seseorang yang peduli dengan helm. Meskipun tahu manfaatnya. Saya bahkan tidak selalu memakai helm dengan mengaitkannyanya sampai “klik”, tapi semua berubah ketika negara api menyerang. Errr, sejak beberapa kejadian entah yang saya alami atau yang saya tahu saja. Kesadaran tentang memakai helm sampai “klik” ini muncul setelah melihat kejadian kecelakaan yang menimpa Marco Simoncelli di MottoGP Sepang, Malaysia, Oktober kemarin.

Helm yang sudah memenuhi standard dan pastinya mahal, juga harusnya sudah “klik”, bisa lepas, dan itu fatal.

Saya dan helm

“May, nggak pakai helm teropong?” begitulah pertanyaan teman saya sebelum saya main dengan beberapa teman ke Kelud awal Januari 2010 lalu. Waktu itu, saya menganggap itu tidak penting. Saat pulang dari Kelud itu, saya dan teman saya jatuh dari motor. Kecelakaan tunggal yang terjadi karena teman saya yang membonceng tidak melihat lubang di jalan. Kecelakaan yang menyebabkan jaringan parut yang membekas di hidung saya. #curcol

Begitu tidak pedulinya saya dengan helm sampai-sampai saya bertahan dengan helm-arsitek-warna-warni-dengan-stiker-IPB warisan kakak saya yang tidak melindungi wajah saya saat kecelakaan itu. Sejak kecelakaan itu, saya mulai peduli dan merasa penting untuk menggunakan helm yang sesuai standard keamanan. Helm adalah pelindung kepala, kepala adalah aset, tidak bisa ditawar. Ini adalah kesadaran tahap I.

Saya juga gaptek dengan jenis kuncian helm sampai-sampai, ketika main dengan teman, kadang saya harus minta tolong untuk membukakan kait helm saya! :D

Saya sendiri belum punya helm. Kadang saya berpikir kebelumpunyaan helm saya ini membuat saya single sampai sekarang. Secara tidak langsung saya belum mengondisikan untuk punya pacar: belum ada helm jika sewaktu-waktu diajak ngedate! #teorisukasuka
xD

Selama ini saya bertahan dengan meminjam helm teman kos. Helm hitam Tyas atau Anggra, helm putih Nasa, helm ungu Mbak Nilla, helm biru bunga-bunga milik Desi, atau kalau terpaksa, saya minta teman saya membawakan helm.

Suatu hari di Stasiun

Sore itu saya pulang bareng teman kos saya. Saya duduk-duduk di teras Stasiun Gubeng untuk menunggu teman kos saya yang lain. Bersama adik kos, seorang anak PKL dari Wlingi yang bersekolah di Kediri yang sangat remaja-zaman-sekarang-sekali. Errr, maksud saya, tampilannya sangat anak muda zaman sekarang. Rambut rebonding poni lempar, celana skinny jins, kaos mini plus cardigan. Lalu kita terlibat obrolan tentang helm.

“Mbak, helm yang dipegang anak itu jenis *%&^Q*&%@^ sebenarnya udah nggak boleh dipakai lho di Kediri,” dia memulai obrolan sambil mengamati seorang remaja-zaman-sekarang yang menenteng helm. Saking tidak tahunya jenis helm yang dia sebut, saya tidak ingat apa itu *%&^Q*&%@^.
Emang kenapa helmnya?” saya menjawab seolah tahu maksud adik kos itu.
“Ya nggak boleh aja mbak *%&^Q*&%@^ katanya cuma buat gaya-gayaan, nggak sesuai standard..”
Lalu dia melanjutkan membahas jenis-jenis helm yang saya sama sekali nggak paham! -____-“
“Harga helm berapa aja sih?” saya sekaligus survei helm, saya pikir lumayan mendapat informasi harga helm dari anak ini. Siapa tahu ketika suatu hari saya berniat membeli helm, saya tidak perlu bertanya banyak pada penjualnya.
Adik kos: “Helm jenis *** ada yang baru mbak, 275rb-an, yang lama sih 200an...”
Saya: “wih, mahal ya! Kalau yang jenis ***?”
Adik kos: “kalau yang itu 80rb udah dapet mbak”
Saya: “kalau dipakai enakan yang mana?”
Adik kos: “sama aja sih mbak, tapi yang jenis *** bentuknya lebih bagus...”

-----------------------------------------------------

Mengingat pentingnya helm, saya mulai berkesadaran untuk selalu menggunakan helm standard, dengan kaca menutup wajah. Mengaitkan sampai “klik”, walaupun mungkin harus minta bantuan untuk melepas kaitnya. Dan satu hal yang tak kalah penting, saya mulai berniat membeli helm sendiri. Hahaha.

Tidak ada komentar: